Pemerintahan Orde Baru atau yang sering disebut dengan Pemerintahan Orba merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Pemerintahan ini menggantikan Pemerintahan Orde Lama yang merujuk kepada era Pemerintahan Soekarno. Munculnya Orde Baru berawal dari keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Pemerintahan Orde Baru berlangsung selama 32 tahun dimulai sejak 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia mulai berkembang pesat meskipun terdapat praktik korupsi yang merajalela di masa pemerintahan ini. Adapun selama berjalannya rezim ini, Indonesia mengubah struktur ekonomi, politik, sosial-budaya, dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Di sisi lain, pemerintahan ini juga diwarnai dengan banyak sekali coretan negatif di bidang politik, HAM, militer, dan sosial. Selama 32 tahun dipimpin oleh Presiden Soeharto, pengaruh dari perubahan-perubahan yang ada bahkan masih terasa sampai hari ini.
1. Latar Belakang Lahirnya Pemerintahan Orde Baru
Meskipun sudah merdeka pada 1945, namun pada kenyataannya di era 1950an dan 1960an, Indonesia mengalami kondisi yang relatif tidak stabil. Bahkan meski Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar pada 1949, keadaan politik maupun ekonomi Indonesia masih sangat labil dikarenakan persaingan yang ketat diantara kelompok-kelompok politik. Keputusan Presiden sebelumnya, Soekarno untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin semakin memperparah kondisi tersebut dengan memancing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia yang ketika itu ingin mempersenjatai diri. Pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) pada titik akhirnya diwarnai dengan berbagai macam kekacauan. Selepas peristiwa monumental Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan 6 Jenderal Angkatan Darat. Dilanjutkan dengan pembantaian besar-besaran oleh berbagai elemen masyarakat terhadap anggota onderbouw Partai Komunis Indonesia. Gelombang demonstrasi juga mulai menghampiri pemerintahan Presiden Soekarno pada akhir 1965. Ketika beliau menolak membubarkan PKI, ditambah dengan ketidakpuasan akibat rontoknya perekonomian, sementara inflasi tercatat mencapai 650%. Kondisi Jakarta yang kian tidak terkendali, dirasa tidak aman bagi presiden. Sehingga beberapa perwira tinggi Angkatan Darat memindahkan Presiden Soekarno ke Bogor. Di Istana Bogor, Presiden Soekarno menyusun Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) yang ditujukan kepada Men/Pangad Jenderal Soeharto. Isinya adalah untuk mengendalikan kondisi negara dan mengamankan wibawa pemerintah. Surat ini dipergunakan oleh Soeharto untuk membubarkan PKI, menangkap menteri yang diduga terlibat G30S, membentuk kabinet baru, dan menjalankan pemerintahan.
Akhirnya pada 22 Februari 1967 untuk meredam situasi negeri yang semakin mencekam kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan kekuasaan itu tertuang dalam TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 yang berisi apabila Presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 digunakan sebagai pemegang jabatan Presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Dan pada 1968, Soeharto secara resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke 2. Ini menjadi awal dari era Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dan menandai akhir dari era Orde Lama yang dimulai sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 hingga 1966 yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada masa Pemerintahan Orde Lama ini banyak sekali kekurangan yang ada selama pemerintahan itu berlangsung salah satunya adalah terjerumusnya Indonesia ke dalam Komunisme, larangan segala bentuk budaya Barat hingga yang terparah adalah ketika Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1965 setelah Malaysia dinyatakan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
2. Perkembangan Ekonomi Era Orde Baru
Ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru dapat bangkit kembali dalam waktu singkat. Dengan bantuan modal yang terbuka lebar dan bantuan konsorsium internasional, Orde Baru dapat menstabilkan perekonomian bahkan sebelum tahun 1970. Pemerintah Orde Baru melakukan pengawasan ketat, peningkatan pajak, penghematan & pembatasan kredit dan menunda pembayaran utang ke luar negeri. Kebijakan ini dianggap sebagai rehabilitasi dan stabilisasi sebelum melanjutkan ke tahap pembangunan melalui program Repelita. Pembangunan ekonomi nasional melalui Repelita inilah yang dianggap sebagai bentuk pemerataan, pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Terbukti, Program Repelita ini dibilang sukses memberikan dampak positif pada perekonomian nasional. Berikut ini merupakan Program-Program Repelita
- Repelita I (1969-1974), menekankan pada pertanian dan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
- Repelita II (1974-1979), menekankan pada pemerataan pembangunan di luar Jawa, Bali, dan Madura salah satunya melalui transmigrasi.
- Repelita III (1979-1984), menekankan pada industri padat karya dalam rangka meningkatkan ekspor.
- Repelita IV (1984-1989), menekankan pada penciptaan lapangan kerja baru terutama dalam bidang industri.
- Repelita V (1989-1994), menekankan pada pembangunan sektor transportasi, komunikasi, dan pendidikan.
- Repelita VI (1994-1999) menekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun sayangnya, program ini terhambat penyelesaiannya dikarenakan terjadi Krisis Moneter yang melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia sehingga mengakibatkan proses pembangunan nasional di periode ini menjadi terhambat. Selain itu gejolak peristiwa politik dalam negeri yang berakibat runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi menjadi akhir dari program Repelita ini.
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik. Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis. Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton. Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita. Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an. Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.
Asas Trilogi Pembangunan
Pemerintahan orde baru memiliki slogan yang menunjukkan fokus utama mereka dalam memberlakukan kebijakan ekonomi, yaitu Trilogi Pembangunan. Adapun asas-asas Trilogi Pembangunan terdiri dari :
1. Pertumbuhan Ekonomi yang cukup tinggi
2. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
3. Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis.
Revolusi Hijau
Revolusi Hijau pada dasarnya adalah suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional (peasant) ke cara modern (farmers). Untuk meningkatkan produksi pertanian umumnya dilakukan empat usaha pokok, yang terdiri dari:
a. Intensifikasi, yaitu penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi pertanian untuk memanfaatkan lahan yang ada guna memperoleh hasil yang optimal; Perubahan ini dilakukan melalui program Panca Usaha Tani
b. Ekstentifikasi, yaitu perluasan lahan pertanian untuk memperoleh hasil pertanian yang lebih optimal;
c. Diversifikasi (keanekaragaman usaha tani);
d. Rehabilitasi (pemulihan daya produktivitas sumber daya pertanian yang sudah kritis).
3. Perkembangan Politik Dalam Negeri Era Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun memiliki proses politik yang sangat dinamis. Secara umum, kestabilan politik berhasil dicapai meskipun dengan mengorbankan banyak suara-suara sumbang yang kerap muncul dalam proses demokrasi. Perubahan-perubahan dinamika politik dalam negeri di era Orde Baru diantaranya :
A. Pembubaran PKI
Demi menjaga keamanan dan stabilitas negara, Soeharto sebagai pengemban Supersemar mengeluarkan kebijakan untuk membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966. Selain itu beliau juga menyatakan bahwa PKI resmi menjadi organisasi terlarang dan menangkap menteri-menteri yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September.
B. Pelaksanaan Pemilu
Selama masa pemerintahan Orde Baru, sudah 6 kali pelaksanaan Pemilihan Umum digelar yaitu pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Pada 6 kesempatan itu, Partai Golkar selalu memenangkan semua pemilu tersebut dan partai-partai politik lainnya seolah hanya pelengkap saja. Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik. Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971 dan tahun selanjutnya.
C. Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 atau tepat 2 tahun setelah pelaksanaan Pemilu pertama di era Orde Baru, pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan partai-partai politik menjadi 3 kekuatan sosial politik. Penggabungan itu tidak berdasarkan oleh kesamaan ideologi melainkan sebagai kesamaan program. 3 kekuatan sosial politik tersebut diantaranya :
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, PARMUSI, PSII, PERTI
2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, PARKINDO. Sekarang lebih dkenal dengan PDIP Perjuangan.
3. Partai Golongan Karya (Golkar)
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai baru ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.
D. Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik. Sebagai kekuatan sosial politik ABRI diarahkan untuk mampu berperan secara aktif dalam pembangunan nasional. ABRI juga memiliki wakil dalam MPR yang dikenal sebagai Fraksi ABRI, sehingga kedudukannya pada masa Orde Baru sangat dominan. Pengaruh ABRI dalam kancah politik nasional memang sudah kuat sejak Orde Lama. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam kabinet Dwikora yang diisi banyak perwira tinggi Angkatan Darat. Namun pada masa Orde Baru, perubahan yang terjadi adalah fungsi ABRI di tingkat sipil lebih kuat lagi. Partai Golongan Karya, sebagai mesin politik utama pemerintah Orde Baru diisi oleh banyak anggota militer. ABRI juga memiliki berbagai kegiatan sipil seperti ABRI Masuk Desa, serta menduduki jabatan sipil dan militer pada saat bersamaan. Banyak diantara anggota ABRI juga menjadi komisaris perusahaan-perusahaan besar Indonesia, sehingga dianggap sebagai tanda menguatnya KKN dalam pemerintahan Orde Baru. Sistem dwfungsi ABRI ini dianggap telah menimbulkan kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak kalangan menilai bahwa sistem ini telah mengurangi profesionalitas yang dimiliki ABRI. Masuknya pendidikan sosial potlitik dalam akademi militer mengakibatkan kurangnya waktu mempelajari strategi militer.
E. Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila (P4)
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P-4 atau Ekaprasetya Pancakarsa, bertujuan untuk memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai Pancasila. Semua organisasi tidak boleh menggunakan ideologi selain Pancasila, bahkan dilakukan penataran P4 untuk para pegawai negeri sipil. Sejak 1985, Pancasila digunakan sebagai asas tunggal kehidupan beroganisasi. Jika menolak Pancasila sebagai asas tunggal artinya dianggap sebagai pengkhianat kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
4. Perkembangan Politik Luar Negeri Era Orde Baru
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan. Pemulihan Politik Luar Negeri di era Orde Baru itu diantaranya adalah :
A. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Ketika Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1965, Indonesia terkucil dari pergaulan internasional dan menyulitkan Indonesia secara ekonomi maupun politik dunia. Keadaan ini membuat Indonesia memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB berdasarkan hasil sidang DPRGR. Dan pada 28 September 1966, Indonesia resmi kembali menjadi anggota PBB. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia bahkan oleh negara-negara anggota PBB sendiri. Hal itu dibuktikan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang 1974. Indonesia juga mencoba memulihkan hubungan dengan sejumlah negara yang sempat merenggang sebagai dampak dari konfrontasi Orde Lama.
B. Normalisasi Hubungan Dengan Singapura & Malaysia
Pada Era Orde Baru ini juga, Indonesia mulai melakukan Normalisasi hubungan diplomatik dengan 2 negara tetangga di Asia Tenggara yaitu Singapura dan Malaysia. Dengan perantara Dubes Pakistan untuk Myanmar, Indonesia mulai memulihkan hubungan dengan Singapura. Pada tanggal 2 Juni 1966, kedua negara sepakat untuk memulai kembali hubungan diplomatik. Kemudian pada 29 Mei-1 Juni 1966 lahirlah Perjanjian Bangkok yang menjadi awal dari normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia. Dan puncaknya pada 11 Agustus 1966, kedua negara melalui perwakilan masing-masing negara yaitu Adam Malik dan Tun Abdul Razak menandatangani persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia yang digelar di Jakarta.
C. Pembekuan Hubungan Dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
Pada 1 Oktober 1967, Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Cina. Hal tersebut dilakukan setelah Cina dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan ataupun sesudah pelaksanaan pemberontakan tersebut.Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Kedutaan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.
D. Memperkuat Kerja Sama Regional & Internasional
Di era pemerintahan Orde Baru ini, Indonesia mulai melakukan penguatan kerjsama Regional & Internasional dengan beberapa cara, diantaranya :
1. Ikut serta dalam pembangunan ASEAN & menjadi salah satu negara pendiri ASEAN
2. Mengirim Kontingen Garuda untuk misi perdamaian
3. Ikut berperan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok (KTT Non Blok)
4. Berperan aktif dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
5. Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia agar terkesan sebagai "pribumi asli" Indonesia. Penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa juga dilarang untuk penggunaan nama media massa dan perusahaan. Satu-satunya media massa berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Selain itu, warga keturunan Tionghoa juga harus memiliki SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan Indonesia. Hal ini ditentang oleh banyak pihak karena dianggap diskriminatif. Pada akhirnya penggunaan SBKRI dihapus pada tahun 1996 dan diselesaikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
6. Peristiwa-Peristiwa Penting Era Pemerintahan Orde Baru
Sudah banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak pemerintahan Orde Baru berlangsung. Beberapa peristiwa itu lebih disebabkan karena ketidaksukaan mereka terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap otoriter, KKN dan merugikan banyak pihak. Peristiwa itu diantaranya adalah :
1. Sidang Umum IV MPRS, 17 Juni 1966
Sidang Umum keempat MPRS, yang dilaksanakan pada 17 Juni 1966 dapat dikatakan titik balik dimulainya Orde Baru setelah Supersemar. Pada sidang ini diperoleh empat ketetapan penting yang disahkan sebagai TAP MPRS. Setelah sidang ini, Soeharto memegang kekuasaan penuh pemerintahan meskipun Presiden Soekarno masih menjabat. Ketetapan penting yang ada antara lain:
- Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret – TAP MPRS No. IX
- Pembubaran PKI, Organisasi Masyarakat, dan Pelarangan Marxisme-Leninisme – TAP MPRS No. XXV
- Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan – TAP MPRS No. XXIII
- Pembentukan Kabinet Ampera – TAP MPRS No. XIII
2. Aneksasi Timor Timur, 1975
Pada tahun 1975, Indonesia melakukan aneksasi terhadap Timor Timur yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Portugis. Sebagian kekuatan politik di sana memiliki opsi untuk bergabung dengan Indonesia, dan meminta dukungan Indonesia. Adapun Operasi Seroja ini secara luas dinyatakan sebagai bentuk invasi, meskipun beberapa pihak bersepakat bergabung dengan Indonesia. Timor Timur tergabung menjadi propinsi ke-27 Indonesia pada 1976. Sampai dengan tahun 1999, terjadi banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI terhadap masyarakat lokal.
3. Pemilihan Umum, 1971
Pemilihan Umum tahun 1971 adalah pemilu pertama yang dilakukan sejak tahun 1955. Adapun pemilu ini diikuti oleh 9 partai politik dan satu golongan karya. Bertujuan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, dan wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Adanya peristiwa ini merupakan sinyal penting kembalinya proses demokrasi yang telah lama hilang.
4. Peristiwa Malari, 1974
Peristiwa Malari merupakan demonstrasi anti-modal asing yang muncul di Jakarta. Hal ini adalah gelombang protes besar pertama yang muncul setelah Orde Baru berjalan. Derasnya aliran modal asing dianggap oleh sebagian pihak tidak menguntungkan Indonesia pada jangka panjang. Kedatangan PM Jepang, Kakuei Tanaka pada 14 Januari 1974 menjadi titik demonstrasi besar yang terjadi. Hal ini juga menjadi titik balik di mana Presiden Soeharto menjadi keras dalam penindakan demonstrasi dan gerakan menyimpang.
5. Peristiwa Tanjung Priok, 1984
Peristiwa ini disebabkan karena adanya pemberontakan dari umat Islam yang menuntut pembebasan rekan mereka yang ditahan karena melakukan penghasutan dan mengganggu keamanan negara. Peristiwa ini bahkan sampai beujung kericuhan yang tidak terkendali di kawasan Tanjung Priok.
6. Tragedi Kudatuli (Kudeta 27 Juli/Sabtu Hitam), 1996
Isu lain yang memiliki dampak negatif untuk posisi pemerintah adalah kegiatannya mencampuri urusan internal PDI. Megawati Soekarnoputri (puteri dari Soekarno) dipilih sebagai ketua umum PDI pada tahun 1993 menggantikan Suryadi. Namun, pemerintah tidak mengakui keputusan ini dan memerintahkan dilaksanakannya pemilihan ulang. Megawati, yang semakin kritis terhadap rejim Suharto, dilihat sebagai sebuah ancaman nyata karena status ayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah pusat mendukung Suryadi di sebuah kongres lain tanpa mengundang partisipasi Megawati. Ini menghasilkan pemilihan ulang Suryadi sebagai Ketua Umum namun Megawati jelas menolak mengakui hasil dari kongres buatan ini. Hal ini kemudian menyebabkan perpecahan di dalam PDI dan juga bentrokan-bentrokan kekerasan di markas umumnya di Jakarta. Masyarakat pada umumnya merasa frustasi karena Suharto ikut campur dalam urusan internal PDI, terutama karena hal ini melibatkan puteri Sukarno.
7. Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru
Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru berawal dari terjadinya Krisis Moneter Asia yang melanda sejak 1997 dimana nilai tukar rupiah merosot drastis. Selain itu inflasi meingkat tajam, perpindahan modal dipercepat. Bantuan dari IMF sebesar US$43 miliar dan pembaharuan kebijakan tidak membawa dampak positif sehingga krisis ini menjalar menjadi krisis politik. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru mulai menurun sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran khususnya di Jakarta yang dipimpin oleh sejumlah mahasiswa. Akibatnya, Soeharto menyatakan pengunduran diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh BJ Habibie yang sebelumnya menjadi Wakil Presiden. Setelah itu dimulailah era Reformasi yang terus berlanjut hingga kini.Reformasi ini memiliki beberapa tuntutan penting antara lain :
- Penghapusan Dwifungsi ABRI,
- Penurunan dan pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya,
- Penghapusan praktek KKN,
- Penegakan supremasi hukum,
- Amandemen UUD 1945,
- Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
8. Kelebihan & Kekurangan Era Orde Baru
Kelebihan dari era Pemerintahan Orde Baru diantaranya :
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Adapun kekurangan dari era Pemerintahan Orde Baru ini adalah sebagai berikut :
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (atau disingkat sebagai "petrus")
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Demikian sekilas artikel mengenai Era Pemerintahan Orde Baru yang merupakan era pemerintahan paling terlama di Indonesia.