Kecelakaan Kereta Api Bintaro 1987 atau yang lebih dkenal dengan sebutan "Tragedi Bintaro 1987" merupakan peristiwa kecelakaan tragis yang melibatkan 2 buah kereta api di wilayah Pondok Betung, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Peristiwa itu terjadi pada 19 Oktober 1987 yang juga bisa dibilang sebagai musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa itu telah menyita perhatian dunia internasional. Dalam kecelakaan ini, rangkaian kereta api Patas Merak jurusan Tanah Abang-Merak KA 220 yang berangkat dari stasiun Kebayoran bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota yang berangkat dari stasiun Sudimara. Peristiwa itu segera tercatat sebagai peristiwa kecelakaan terburuk sepanjang sejarah transportasi di Indonesia. Total jumlah korban jiwa sebanyak 156 orang tewas dan sisanya mengalami luka berat. Proses evakuasi itu sendiri berlangsung dramatis karena tabrakan itu sangat keras dan berlangsung secara
head-to-head. Lokasi kecelakaan itu sendiri terletak di antara Stasiun Pondok Ranji & TPU Tanah Kusir sebelah utara SMAN 86 Jakarta. Sedangkan menurut Wikipedia, berdasarkan pernyataan resmi dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), lokasi kecelakaan itu terletak di KM 17+252 lintas Angke-Tanah Abang-Rangkasbitung-Merak. Lokasi itu berada di tikungan S yang diapit oleh Jalan Tol Jakarta-Serpong di barat dan Jalan Tol Lingkar Luar di timur. Seperti yang sudah disebutkan, lokasi itu juga terletak sekitar 1,5 km dari barat daya TPU Tanah Kusir.
Kronologi Kejadian
1. Versi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)
Peristiwa itu bermula dari kesalahan PPKA Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) ke Stasiun Sudimara tanpa mengecek terlebih dahulu kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Berdasarkan GAPEKA yang berlaku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 untuk bersilang dengan KA 220 9 menit kemudian. Namun yang terjadi justru sebaliknya, KA 225 terlambat 5 menit. Saat itu, emplasemen Stasiun Sudimara yang memiliki 3 jalur sudah tertera "Penuh" dan "Tidak Dapat Menerima Persilangan KA" dikarenakan hal ini yaitu :
1.Jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya dipakai untuk langsiran dan sepur simpan;
2.Jalur 2 berisi KA barang 1035
3. Jalur 3 berisi KA 225 yang berhenti.
Karena Stasiun Sudimara sudah tidak mampu lagi menerima persilangan antarkereta api, maka KA 225 diharuskan meninggalkan Stasiun Sudimara untuk kemudian meneruskan perjalanan menuju stasiun berikutnya, Stasiun Kebayoran. Sesuai dengan peraturan dinas yang berlaku, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara wajib melakukan hal berikut :
1. Meminta izin kepada PPKA Kebayoran via telepon
2. Mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus segera diserahkan langsung kepada masinis dan kondektur KA 225
Namun sayangnya, Surat PTP itu diserahkan tanpa meminta izin kepada PPKA Kebayoran terlebih dahulu. Parahnya, surat PTP itu dikirimkan tanpa prosedur karena diserahkan lewat seorang petugas pelayanan kereta api (PLKA) baru kemudian dibacakan oleh masinis dan kondektur KA 225. Barulah setelah itu, PPKA Sudimara menelepon ke ke PPKA Kebayroan shift malam untuk meminta izin persilangan. Pagi ut, terjadi pergantian shift PPKA Kebayoran dari malam ke pagi. Saat serah terima shift tersebut, Mad Ali memberi tahu PPKA shift pagi (Umrihadi) bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran. KA 251 sedang melaju ke arah Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.
Begitu KA 251 berhenti di Kebayoran, Umrihadi meminta izin memberangkatkan KA 220 ke PPKA Sudimara, Djamhari. Namun, Djamhari menjawab bahwa dirinya sedang sibuk. Seharusnya sesuai prosedur yang ada, Djamhari harus menyatakan menolak memberikan izin keberangkatan bagi KA 220 dan mengabarkan bahwa ada kereta api yang harus berangkat dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal. Pada saat itu, KA 225 mulai dipadati penumpang. Ada yang bergelantungan di pintu, di jendela, di toilet, dan bahkan di lokomotif.
Begitu komunikasi antar-PPKA ditutup, Umrihadi justru memberangkatkan KA 220 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 tetap dilakukan di Sudimara. Agar meyakinkan, Umrihadi menelepon ke Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran. Padahal PTP sudah telanjur diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225. Dengan kebingungan tersebut, Djamhari mengakali masalah ini dengan melangsir KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1 Stasiun Sudimara. Akhirnya Djamhari memerintahkan seorang petugas stasiun untuk melangsir. Padahal, perihal langsiran tersebut harus ditulis oleh PPKA dalam laporan harian masinis serta menjelaskannya secara lisan.
Petugas yang disuruh Djamhari itu pun dengan tangkas mengambil bendera merah dan slompret. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangan terhalang penumpang. Sebelum petugas itu mencapai kereta kira-kira 7 m, tiba-tiba kereta mulai bergerak tanpa perintah slompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan slompret tetapi usahanya sia-sia. Kondektur pun mencoba masuk ke dalam kereta tersebut tetapi malah tidak memerintahkan untuk menghentikan kereta.
Petugas stasiun itu pun melapor ke Djamhari bahwa KA 225 sudah berangkat tanpa izin. Dengan cepat Djamhari menggerakkan tuas sinyal masuk pihak Kebayoran tetapi tidak berhasil menghentikan kereta api. Djamhari pun berlari di tengah rel sembari mengibar-ngibarkan bendera merah ke arah KA 225 tetapi gagal menghentikan kereta. Djamhari pun akhirnya kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.
Akibat dari miss komunukasi tersebut, tabrakan itupun tidak terhindarkan. Saat itu, Masinis 225 kaget melihat KA 220 didepan mata. Meskipun masinis KA 220 sudah menarik tuas rem bahaya, tetap saja tabrakan itu tidak dapat terhindarkan. Dan tak lama kecelakaan tragis itu terjadi di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah utara Sekolah Menengah Umum Negeri 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan "S", berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan kurang lebih 8 km sebelum Stasiun Sudimara. Kedua kereta sarat penumpang itu hancur, terguling, dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat. Jumlah korban jiwa meninggal sebanyak 156 orang dan ratusan penumpang lainnya luka-luka. Ratusan orang meninggal setelah dua rangkaian kereta bertabrakan, paling banyak dari KA 225 yang paling padat penumpangnya. Korban tewas 139 orang dengan rincian 72 tewas di tempat dan sisanya meninggal sekarat. Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya sudah teridentifikasi. Total 254 luka-luka, dengan rincian 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang luka ringan.
2. Versi Masinis 225
Berbeda dengan versi sebelumnya, menurut pengakuan masinis KA 225 saat itu, Slamet Suradio menyatakan bahwa dia hanya menjalankan instruksi dari PPKA Sudimara dengan menggunakan surat PTP tersebut. Slamet juga mengatakan bahwa dia merasa telah difitnah dan menganggap bahwa tudingan yang dilancarkan kepadanya merupakan sebuah kebohongan besar. Ia juga menegaskan bahwa tak ada hal apa pun yang dikhawatirkan karena ia merasa tak melihat semboyan apa pun yang diterimanya.
Saat terjadi tabrakan, Suradio juga meluruskan apa yang diberitakan di media, termasuk dalam koran Pembaruan yang pertama kali membahas mengenai Tragedi Bintaro 1987 yang menulis "masinis lompat" pada koran tersebut. Ia menanggapi: "Kaki saya ngesot-ngesot tidak bisa jalan, akhirnya saya merambat melalui jendela." Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa saat terjadi tabrakan, Suradio tergencet oleh badan lokomotif dalam keadaan bersimbah darah dan dijemput oleh seorang wanita dengan mobilnya ke rumah sakit. Dalam keadaan PTP masih memiliki bekas bercak darah, Suradio berhasil membuktikan kepada hakim bahwa dirinya tergencet dan tidak melompat, dan menuding bahwa orang yang menuliskan berita tersebut adalah "orang fitnah." Ketika diwawancarai dengan akun Kisah Tanah Jawa di YouTube, Slamet membeberkan pernyataan "Yang seharusnya saya di Sudimara bersilangan dengan KA 220 dibatalkan oleh PPKA yang sedang dinas. Jadi kalau ada orang mengatakan 'berangkat sendiri', itu bohong. Apa untungnya saya memberangkatkan kereta sendiri?" "Jadi hakim percayanya saya tidak loncat itu karena ada bercak darah. Makanya (isu) di internet itu yang buat siapa? Saya bingung itu, sedangkan hakim sendiri mengatakan (saya) nggak loncat. Ada katanya saya loncat, itu bohong sekali, itu orang fitnah, jelas fitnah!"
3. Kesaksian Warga Sekitar
Seorang warga setempat, Zainal, menjadi saksi hidup Tragedi Bintaro 1987. Seperti dilansir Kompas.com, ia juga turut membantu mengevakuasi korban yang selamat dan tewas. Saat itu, petugas dan warga sampai kewalahan mengevakuasi penumpang, karena terlalu banyaknya korban yang berjatuhan. Bahkan tak sedikit mayat yang terjepit di persambungan kereta. Bahkan ada yang wajahnya tak dapat dikenali sama sekali, karena seperti habis tersiram sesuatu. Ada pula mayat yang anggota tubuhnya terpisah. Sampai tiga bulan pasca kejadian, banyak cerita-cerita misteri dari masyarakat sekitar. Mulai dari cerita 'minta tolong' para korban sampai korban yang menanyakan potongan tubuhnya kepada masyarakat sekitar.
Bahkan setelah beberapa tahun berlalu, cerita-cerita tersebut masih ada dan mengusik beberapa orang untuk mencari tahu kebenarannya. Suasananya mungkin sudah tidak begitu mencekam seperti saat kejadian atau bahkan sampai tiga bulan setelahnya. Rumah-rumah yang kini berada di pinggir rel bekas lokasi kejadian sudah rapi diterangi lampu yang menutupi kisah muram sejarah perkeretaapian Indonesia tersebut.
4. Sisi Lain Tragedi Bintaro
Harian Kompas edisi 20 Oktober 1987 menjelaskan bahwa KA 225 dan KA 220 merupakan kereta buatan Henschel, Jerman. Masing-masing kereta memiliki bobot yang hampir sama, yaitu berkisar 90 ton. Selain itu, keduanya menarik tujuh rangkaian gerbong yang masing-masing 35 ton. Ketika peristiwa terjadi, KA 225 banyak membawa penumpang yang umumnya adalah karyawan yang bekerja di Jakarta. Saat itu, banyak penumpang yang menaiki kereta tak pada tempatnya. Artinya, penumpang naik dan menempati di sisi luar gerbong, atap, dan bahkan di ruangan masinis pada lokomotif utama. Di KA 225, tiap gerbongnya tersedia 64 kursi rotan dengan triplek sebagai penyangga badan. Saat itu, penumpang dalam kereta tak semuanya mendapatkan tempat duduk. Dalam sebuah catatan Harian Kompas, banyak orang yang menaiki kereta di atap dan tak menggunakan kursi yang disediakan. Mereka mengaku lebih nyaman berada di luar. Kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan mengurangi keselamatan dalam perjalanan itu. Kereta api terpaksa berjalan hingga tujuan dalam kondisi membawa penumpang di bagian luar kereta.
5. Sanksi Untuk Masinis KA
Slamet Suradio, masinis di KA 225 divonis 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya sebagai masinis. Beliau ditahan di Lapas Cipinang hingga 1993. Sejak saat itu beliau hanya menghadiri apel saja di kantor karena dia sudah tidak lagi bertugas sebagai masinis. Tidak lama kemudian pada 1994, beliau langsung dipecat dari jabatannya sebagai masinis 7 tahun setelah tragedi tersebut. Tidak hanya itu saja, Nomor Induk Pegawai Perkeretaapiannya yaitu 120035237 juga dicabut oleh Departemen Perhubungan Indonesia pada 1996. Beliau tidak mendapat uang pensiun sama sekali. Sejak itu, beliau memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Purworejo, Jawa Tengah dan menjadi penjual rokok eceran hingga kini. Sementara nasib yang hampir serupa dirasakan oleh kondektur KA 225, Adung Syafei yang harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sedangkan Djamhari dan Umrihadi yang bertugas di PPKA Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran dihukum 10 bulan penjara akibat kelalaian tersebut.
6. Awal Revolusi Dunia Transportasi Indonesia
Setelah tragedi nahas tersebut, PJKA dan Menteri Perhubungan berupaya memperbaiki teknologi, kualitas, dan aturan perjalanan kereta api. Antara lain dengan komputerisasi perjalanan kereta, pembuatan rel ganda, dan melarang penumpang naik ke lokomotif dan atap gerbong.
7. Tragedi Bintaro Dalam Budaya Populer
Untuk mengenang tragedi ini, berbagai cara dilakukan oleh sederet tokoh seniman tanah air diantaranya:
1. Iwan Fals menciptakan lagu yang berjudul "1910" (Sembilan Belas Sepuluh) untuk mengenang tragedi ini.
2. Ebiet G. Ade juga menciptakan lagu untuk mengenang tragedi ini dengan judul "Masih Ada Waktu" yang kemudian dirilis dalam album pribadinya yaitu Sketsa Rembulan Emas.
3. 2 tahun setelah tragedi ini tepatnya pada 1989, peristiwa ini kemudian diangkat ke film layar lebar yang diberi judul Tragedi Bintaro dengan sutradara Buce Malawau. Film ini dibintangi oleh Ferry Octola, Roldiah Matulessy dan Lia Chaidir yang mengangkat kisah nyata seorang penumpang kereta yang menjadi korban kecelakaan bernama Juned (diperankan oleh Ferry Octola tersebut). Dalam akhir film itu, muncul sosok Juned yang sebenarnya di rel kereta api tersebut. Beliau terlihat menggunakan penyangga kaki dikarenakan kaki kirinya diamputasi sebagai akibat dari kecelakaan itu. Beliau juga menyampaikan terimakasih karena kisah beliau sekeluarga diangkat ke film layar lebar.
No comments:
Post a Comment