Tuesday, 29 December 2020

Bandara Kemayoran : Bandara Internasional Pertama Di Jakarta Sebelum Kemunculan Bandara Soekarno-Hatta

 Bandara Kemayoran atau yang biasa disebut dengan Bandar Udara Kemajoran merupakan bandar udara pertama di Indonesia yang dibuka untuk penerbangan internasional. Landasan bandara ini dibangun pada 1934 dan resmi dbuka pada 8 Juli 1940. Sebenarnya, bandara ini telah lebih dulu beroperasi pada 6 Juli 1940 dengan pesawat pertama yang mendarat di bandara itu adalah jenis DC-3 Dakota milik perusahaan penerbangan Hindia Belanda, KNILM (Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij) yang tiba dari Lapangan Terbang Tjililitan (sekarang Bandara Abdul Halim Perdanakusuma). Tercatat pesawat itu sebagai pesawat yang terus beroperasi di Bandara Kemayoran hingga selesainya masa operasi bandara itu.

Bandara Kemayoran mulai berhenti beroperasi secara bertahap pada 1 Januari 1983 dan resmi berhenti beroperasi sepenuhnya pada 31 Maret 1985 dengan dimulainya pemindahan semua aktivitas penerbangan ke Bandara Soekarno-Hatta di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat yang waktu itu baru saja diresmikan dan mulai beroperasi. Sebelumnya pada 1975, penerbangan internasional dipindahkan ke bandara Halim Perdanakusuma yang berlokasi di Jakarta Timur. Bandara ini sempat diaktifkan kembali dalam rangka penyelenggaraan Indonesian Air Show pada 1986 silam. 

Bandara ini memiliki 2 landasan pacu yang bersilangan, yaitu landasan pacu Udara-Selatan (17-35) dengan ukuran 2.475 x 45 meter dan landasan pacu Barat-Timur (08-26) dengan ukuran 1.850 x 30 meter.

Sejarah Bandara Kemayoran

1. Era Pemerintahan Hindia Belanda

Jauh sebelum didirikan bandar udara, daerah Kemayoran merupakan sebuah tanah yang dimiliki oleh Komandan VOCIsaac de l'Ostal de Saint-Martin (1629–1696). Sekitar akhir abad ke-17, Issac memiliki tanah di Pulau Jawa yang meliputi daerah Kemayoran, AncolKrukut, dan Cinere. Nama "Mayoran" pertama muncul pada tahun 1816 di dalam iklan Java Government Gazette sebagai "tanah yang terletak di dekat WeltevredenBatavia". Setelah itu, daerah tersebut dikenal dengan sebutan "Kemayoran". Hingga awal abad ke-20, daerah Kemayoran masih berupa rawa, areal persawahan, serta pemukiman penduduk. Kemudian pada tahun 1934, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah Bandar udara di daerah tersebut dan diresmikan pada tanggal 8 Juli 1940. Menjadikan Kemayoran sebagai Bandar Udara Internasional pertama di Indonesia. Pengelolaan Bandar udara ini oleh pemerintah Hindia Belanda dipercayakan kepada Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij sampai masa pendudukan Jepang.

Dua hari sebelum peresmiannya (6 Juli 1940), pesawat pertama yang mendarat adalah DC-3 milik KNILM yang diterbangkan dari Lapangan Terbang Tjililitan. Pesawat sejenis, yakni DC-3 berregistrasi PK-AJW juga yang pertama bertolak dari Kemayoran menuju Australia, sehari kemudian.

Pada hari peresmiannya, KNILM menggelar beberapa pesawat miliknya, antara lain:

Baru sekitar dua bulan kemudian KNILM mendatangkan pesawat baru, seperti:

Pameran Kedirgantaraan pertama juga diselenggarakan di Kemayoran, yaitu bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tanggal 31 Agustus 1940. Selain pesawat milik KNILM, sejumlah pesawat-pesawat pribadi yang bernaung dalam Aeroclub di Batavia ikut meramaikannya. Pesawat-pesawat tersebut antara lain:

Pada masa itu, terjadi perang di Asia Pasifik yang mulai berkecamuk. Kemayoran digunakan untuk penerbangan pesawat-pesawat militer, walaupun aktivitas penerbangan komersial tetap berjalan. Pesawat-pesawat militer yang sempat singgah antara lain:

Ketika perang semakin sengit, Kemayoran tak luput dari serangan pesawat-pesawat penyerang milik Angkatan Udara Kekaisaran Jepang. Pada tanggal 9 Februari 1942, dua DC-5, dua Brewster dan sebuah F.VII terkena serangan Jepang, memaksa KNILM mengungsikan pesawatnya ke Australia dan pada akhirnya Kemayoran berhasil diduduki oleh Angkatan Udara Kekaisaran Jepang.


2. Era Pemerintahan Kekaisaran Jepang

Pada era ini tepatnya Maret 1942, Bandara ini dikuasai oleh Kekaisaran Jepang. Beberapa pesawat buatan Negeri Sakura itu kemudian singgah di Bandara Kemayoran. Mereka diantaranya :


3. Era Kemerdekaan & Perang Kemerdekaan Indonesia

Di era ini setelah peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945, bandara ini kemudian dikuasai oleh sekutu dan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie dikarenakan saat itu pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta. Kemudian bandara Kemayoran mulai ditempati oleh pesawat-pesawat sekutu diantaranya :

Selain itu pesawat-pesawat penumpang juga mulai berdatangan ke bandara ini. Diantaranya :

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Bandara Internasional Kemayoran menjadi saksi lahirnya maskapai penerbangan KLM Interinsulair Bedrijf yang jika dinasionalisasikan menjadi maskapai penerbangan pertama di Indonesia yaitu Garuda Indonesia Airways.

4. Era Pemerintahan Indonesia

Pada era 1950an usai perang kemerdekaan, pengelolaan penerbangan sipil dan pelabuhan udara langsung dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Baru pada 1958, kegiatan itu dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil atau yang sekarang disebut dengan Dirjen Perhubungan Udara. Sekitar tahun 1960, pengelolaan Bandara Internasional Kemayoran diserahkan kepada BUMN yang diberi nama Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran. Untuk ini, pemerintah melakukan penanaman modal awal seharga Rp 15 Juta pada masa itu. Selanjutnya pemerintah menambah modal dengan mengalihkan bangunan terminal, bangunan penunjang lain, runway, taxiway, apron, hanggar dan peralatan operasional. Hingga akhir pengoperasian pada tahun 1985, pengelolaan manajemen ditangani oleh Perum Angkasa Pura I. Bandara Internasional Kemayoran telah melewati fase-fase bersejarah Indonesia. Dimulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Kekaisaran Jepang sampai kemerdekaan Indonesia (Orde Lama & Orde Baru) terutama di dunia penerbangan. Dari pesawat-pesawat sipil hingga pesawat militer mulai awal perkembangannya dengan bermesin piston, propeler hingga turbojet mendarat di sini. Tetapi bandara ini juga pernah mengalami peristiwa-peristiwa kelam pada saat waktu pengoperasiannya. Misalnya pesawat Beechcraft yang kecelakaan ketika mendarat, kemudian Convair-340 yang mendarat tanpa roda, pesawat DC-3 Dakota yang terbakar dan pesawat DC-9 yang mengalami patah badan ketika mendarat di landasan. Kemudian pesawat Fokker F-27 yang ketika tinggal landas menukik dan membelok kebawah hingga hancur terbakar dalam penerbangan latihan. Tercatat pula pesawat yang tidak pernah kembali setelah lepas landas dari Kemayoran.

Kemayoran menjadi daerah sibuk di era 1970an. Hal itu membuat pemerintah Orde Baru terpaksa memindahkan penerbangan internasional ke Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur untuk sementara waktu pada 10 Januari 1974. Tetapi khusus penerbangan domestik masih bertahan di Kemayoran seluruhnya. Kesibukan bandara Kemayoran hanya bisa ditandingi oleh Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Balikpapan yang ketika itu menjadi daerah yang sibuk dengan kegiatan pertambangan, perminyakan dan perkayuan.

Pemindahan Lokasi dan Penutupan Bandara

Menjelang pertengahan 1970an, Kemayoran dianggap terlalu dekat dengan basis militer Indonesia, Bandara Halim Perdanakusuma. Penerbangan sipil di daerah itu menjadi sempit, sementara lalu lintas udara meningkat dengan sangat cepat yang artinya sudah mengancam lalu lintas penerbangan internasional. Kondisi itu membuat pemerintah memutuskan untuk memindahkan semua aktivitas bandara ini ke bandara yang baru dan sudah dibangun. Dengan bantuan USAID kala itu, Cengkareng di Jakarta Barat akhirnya dipilih sebagai lokasi bandara yang baru tersebut.

Sesuai dengan diresmikannya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Bandara Internasional Kemayoran resmi ditutup secara bertahap dan berhenti beroperasi sepenuhnya pada 31 Maret 1985 pukul 00.00 WIB. Semua penumpang yang saat itu sudah tiba di Kemayoran langsung dibawa oleh bus menuju Soekarno-Hatta karena semua penerbangan dari Kemayoran telah dipindahkan ke bandara yang baru saja dioperasikan tersebut.

Bandara Kemayoran Dalam Budaya Populer

Bandara Internasional Kemayoran muncul dalam kisah petualangan Tintin ke 22 yaitu Flight 714 To Sydney dengan memunculkan terminal bandara & menara pemandu lalu lintas (ATC Tower) sesuai dengan kondisi sebenarnya. Dalam kisah itu, Tintin, Snowy, Kapten Haddock & Professor Calculus transit disana sebelum melanjutkan perjalanan ke Sydney, Australia untuk mengikuti Kongres Astronautika Internasional.

Perkembangan Terbaru Pasca Nonaktif

Hingga kini, bekas gedung Bandara Internasional Kemayoran masih ada tetapi sudah terbengkalai dan tidak terpakai lagi. Landasan pacunya sudah dijadikan jalan raya di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Hampir semua wilayah bekas bandara itu telah disulap menjadi Jakarta International Expo (JiExpo), Wisma Atlet Kemayoran, dan beberapa gedung perkantoran, hotel & apartemen. ATC Tower yang juga disebut "Menara Tintin" juga masih ada seperti bekas gedung bandaranya tetapi hampir sekelilingnya sudah ditanami pohon-pohon dan dibangun gedung-gedung megah. Selain itu, di bekas Bandar Udara Kemayoran juga diselenggarakan Jakarta Fairground Kemayoran (JFK) yang dulu dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang sebelumnya diselenggarakan di taman Monumen Nasional (Monas) Jakarta yang diselenggarakan setiap hari ulang tahun DKI Jakarta setiap 22 Juni. Sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993, bekas menara ATC Bandar Udara Kemayoran dijadikan Bangunan Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Surat Keputusan tersebut langsung ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Soerjadi SoedirjaKarena bandar udara ini dinilai bersejarah dalam perkembangan kedirgantaraan Indonesia, maka banyak komunitas-komunitas pencinta kedirgantaraan Indonesia yang menginginkan agar bekas bandar udara ini segera dilestarikan, serta dimuseumkan. Mereka adalah Komunitas Tintin Indonesia, Komunitas Save Ex Airport Kemajoran-Kemayoran (KMO), IndoFlyer, dan Komunitas ATCO Indonesia yang bersama-sama membuat petisi lalu akan segera diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta.

Foto-Foto 























Tuesday, 22 December 2020

Tragedi Heysel 1985 : Peristiwa Kelam Sejarah Pesepakbolaan Inggris

 Tragedi Heysel merupakan sebuah tragedi berdarah yang terjadi di dunia olahraga khususnya sepakbola. Tragedi ini terjadi pada 29 Mei 1985 ketika saat itu sedang ada pertandingan final Piala Champions (sekarang bernama Liga Champions UEFA) yang mempertemukan Liverpool, sang juara bertahan musim sebelumnya dengan Juventus. Laga itu dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0 via gol tunggal Michel Platini dan menjadikan gelar Liga Champions pertama untuk Juventus. Peristiwa ini bisa dibilang sebagai peristiwa yang sangat kelam dalam sejarah sepak bola Inggris karena saat itu sepak bola Inggris sedang berada dalam masa jayanya. Peristiwa ini menyebabkan jatuh korban jiwa yaitu 39 orang tewas (mayoritas pendukung Juventus) dan 600 orang lainnya luka-luka. Tidak hanya itu saja, semua klub-klub dari Liga Inggris juga terkena imbasnya yaitu dilarang tampil pada semua ajang antarklub UEFA & Internasional selama 5 tahun sementara khusus Liverpool FC yang menjadi dalang utama peristiwa itu sedianya mendapat hukuman tambahan 3 tahun larangan mentas di kompetisi antarklub Eropa yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun tambahan sampai 1991. Tetapi larangan itu tidak berlaku untuk timnas Inggris. Mereka tetap berpartisipasi di Piala Dunia 1986 & Piala Eropa 1988.

Peristiwa itu bermula ketika pendukung kedua tim saling mengejek dan melecehkan. Lalu sekitar 1 jam sebelum kick-off, kelompok fans Liverpool (Liverpudlian) menerobos masuk ke wilayah tifosi Juventus. Tidak ada perlawanan yang terjadi disana karena keduanya bukan pendukung ultras. Suporter Juventus berusaha menjauh dari amukan suporter Liverpool tadi, namun tiba-tiba munculah sebuah bencana dalam peristiwa itu. Dinding pembatas di sektor tersebut runtuh karena tidak mampu menahan beban dari orang-orang yang terus berusaha merangsek dan melompati pagar. Akibatnya dinding tersebut roboh dan jatuhlah korban jiwa itu dimana 39 orang tewas (mayoritas dari mereka adalah Juventini) dan yang lainnya mengalami luka-luka & juga terinjak-injak kelompok orang tadi.

Meskipun terjadi kerusuhan baik itu di dalam maupun diluar lapangan, pertandingan tetap dilanjutkan setelah kapten kedua tim meminta kepada semua penonton yang hadir di Heysel Stadium tersebut unttuk menenangkan diri. Alasannya karena bertujuan untuk meredam atmosfer kerusuhan yang semakin menyebar ke seluruh penjuru stadion. Juventini sempat ingin melancarkan aksi balasan di bagian stadion lain kepada Liverpudlian namun tindakan mereka berhasil dicegah oleh petugas keamanan. Ketika pertandingan sudah dimulai, situasi sudah mulai terkendali. Juventus berhasil memenangkan laga itu dengan skor 1-0 lewat gol penalti Michel Platini setelah sebelumnya dia dilanggar oleh pemain Liverpool di kotak penalti dan meraih gelar UEFA Champions League pertamanya sepanjang sejarah klub. Tak ada perayaan pesta juara dalam final itu dan tidak ada juga arak-arakan trofi yang dibawa ke kota Turin tersebut sebab Juventus masih berduka karena tewasnya suporter kesayangan mereka akibat ulah Liverpudlian itu.

Akibat dari peristiwa itu, semua klub-klub dari Liga Inggris mendapat hukuman dilarang tampil di semua kompetisi UEFA selama 5 tahun hingga 1990. Sedangkan Liverpool FC mendapat hukuman tambahan 3 tahun dilarang tampil di semua kompetisi UEFA yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun saja hingga 1991. Itu berimbas kepada tim-tim seperti Everton, Chelsea, Arsenal, Manchester United, Tottenham Hotspur, Nottingham Forest, Coventry City dll yang dirugikan dari hukuman itu karena kehilangan kesempatan tampil di ajang antarklub UEFA.

Kepolisian Inggris menyelidiki lebih lanjut dari berbagai sumber. Film sepanjang 17 menit dan berbagai hasil jepretan kamera menjadi alat untuk mengungkap kejadian tersebut. TV Eye menayangkan satu jam penuh perihal Tragedi Heysel, dan foto-foto pun dipublikasikan melalui media massa. Hasilnya, 27 orang dinyatakan bersalah dan ditahan oleh kepolisian Belgia, 14 diantaranya merupakan Liverpudlian yang menjadi dalang kerusuhan itu. UEFA kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut. Dan berdasarkan hasil penyidikan tersebut, Guenther Schneider selaku penyidik resmi UEFA menyatakan bahwa Liverpool FC & pendukungnya harus bertanggung jawab atas kesalahan yang menyebabkan peristiwa itu. Sehari setelahnya, PM Inggris saat itu, Margaret Thatcher meminta Football Association (FA) untuk menarik partisipasi klub-klub Liga Inggris dari kompetisi antarklub UEFA. 2 hari kemudian, UEFA turun tangan dan memberikan larangan bertanding di kompetisi antarklub UEFA kepada klub-klub Liga Inggris selama 5 tahun. Pada 6 Juni 1985, hukuman itu diperluas hingga seluruh dunia yang artinya klub-klub Liga Inggris tidak dapat mengikuti semua kompetisi antarklub baik itu UEFA maupun FIFA namun pengecualian untuk pertandingan persahabatan. Tetapi sanksi ini tidak berlaku untuk timnas Inggris yang artinya mereka masih bisa mengikuti kompetisi internasional baik itu Piala Dunia maupun Piala Eropa. Sementara khusus Liverpool FC, UEFA memberikan hukuman tambahan 3 tahun larangan tampil di kompetisi antarklub UEFA & FIFA yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun saja. Peristiwa itu seolah menjadikan Liverpool FC sebagai musuh bersama tim-tim Liga Inggris dan suporternya dibenci di seantero Inggris hingga sekarang karena tim-tim lain telah kehilangan kesempatan bermain di kompetisi antarklub UEFA & FIFA imbas dari peristiwa tersebut. Sampai hari ini Tragedi Heysel dianggap sebagai salah satu insiden paling memilukan dalam sejarah kompetisi sepak bola Eropa. Kedua klub yang terlibat dalam final Piala Champions itu juga tak putus-putusnya memberi penghormatan pada mendiang para suporter. 

Peringatan & Perdamaian Pasca Tragedi

Kejadian tersebut selalu diperingati kedua klub untuk menghormati 39 korban tewas pada tragedi tersebut. Di Balai Kota Liverpool lonceng akan dibunyikan sebanyak 39 kali pada setiap 29 Mei.

Selain itu, tugu peringatan tragedi didirikan di sekitar Stadion Heysel. Tugu tersebut diresmikan pada 29 Mei 2005 atau pada 20 tahun peringatan tragedi tersebut. Tugu berbentuk jam matahari itu dikelilingi hiasan batu dan berhias 39 lampu bersinar untuk mewakili masing-masing korban. Ada juga sebuah puisi "Funeral Blues" yang diciptakan penyair Inggris, W. H. Auden.

Akan tetapi setelah insiden ini, pendukung Liverpool dan Juventus tidak saling berbalas dendam. Keduanya justru merangkai persahabatan yang kental setelah kejadian tersebut. Buktinya pada tahun 2005, saat kedua tim bertemu di babak perempat final Liga Champions di Anfield, para pendukung Liverpool menyambut para pendukung dan pemain Juventus dengan mozaik bertuliskan "Amicizia" yang berarti persahabatan. Mozaik tersebut bentuk permintaan maaf mereka kepada para Juventini, sebutan untuk pendukung Juventus. Aksi itu dibalas oleh para pendukung Juventus dengan tepuk tangan meriah. Namun, seperti kata 'Si Nyonya Tua', luka itu mungkin tidak akan hilang karena kehilangan mereka tidak bisa dibatalkan.

Revolusi Suporter Inggris Pasca Tragedi

Tragedi Heysel juga menjadi penanda kedewasaan supporter Inggris dalam menonton pertandingan. Sebelum kejadian itu terjadi stadion-stadion di Inggris dilengkapi dengan pagar pembatas agar para supporter tidak bisa melakukan tindakan yang memicu terganggunya pertandingan.

Saat itu stigma media kepada supporter sepakbola Inggris sangatlah buruk karena perangai mereka. Namun setelah kejadian Heysel FA sebagai federasi sepakbola Inggris melakukan langkah berani dengan menghilangkan pagar pembatas di stadion-stadion Inggris. Selain itu FA juga menghilangkan tribun berdiri di stadion.

Ide tersebut menjadi kontroversial kala itu, namun FA tetap pada pendiriannya karena menganggap dua hal tersebut menjadi biang dari arus radikalisme hooliganisme di Inggris. Dengan hilangnya pagar pembatas dan tribun berdiri, supporter kemudian diberi kebebasan untuk mengekspresikan segala aksi mereka. Hasilnya para supporter kemudian lebih dewasa dalam bersikap.

Kesaksian Pelaku Sejarah Tragedi 

Ed Vulliamy, mantan penulis The Guardian, menyatakan bahwa ia melihat banyak mayat menumpuk tinggi. Baginya, Heysel tahun 1985, merupakan tragedi terbesar dalam persepakbolaan Eropa.

Ed Vulliamy yang saat itu ikut berada di tribun penonton menggambarkan suasana Heysel yang begitu mencekam. Sorak sorai para pendukung Liverpool dan Juventus berubah menjadi peristiwa kelam tak terlupakan.

Setelah pulang dari pertandingan itu, ia menemui dua orang pendukung Liverpool. Pertama ia menemui seorang penggemar The Reds yang mengatakan kalau ia akan berhenti menonton sepakbola setelah 25 tahun. Tragedi malam itu benar-benar mengubah pandangannya terhadap sepakbola. Permainan yang biasa menggunakan bola untuk ditendang itu berubah menjadi tragedi yang menyertakan tumpukan mayat untuk ditendang.

Namun berbeda dengan fans lainnya, Ed Vulliamy dibuat begitu terkejut saat ia mewawancarai seorang penggemar Liverpool yang mengatakan, “Bagus, mereka pantas mendapatkannya!”.

Tragedi Heysel atau yang lebih populer dengan nama Heysel Stadium Disaster terjadi pada 29 Mei 1985. Peristiwa kelam itu terjadi satu jam sebelum pertandingan final Piala Champions antara Juventus melawan Liverpool.

Hari itu, Liverpool dan Juventus menjadi dua kekuatan terbesar sepakbola Eropa. Stadion Heysel di pusat kota Brussel, Belgia, menggelar hajatan besar. Awalnya, tak ada yang mengira kalau final tersebut akan berujung petaka. Seperti kebanyakan venue final Piala Champions, hari itu Brussel dipenuhi oleh fans dari kedua kesebelasan. Mereka bernyanyi, menenggak bir, dan bersuka cita.

Namun, semua itu berubah 180 derajat sebelum pertandingan dimulai.

Kerusuhan bermula ketika penggemar Liverpool tidak terima dengan jatah jumlah penonton yang diberikan panitia. Mereka hanya mendapat dua sektor, sementara Juventus mendapat tiga sektor. Seperti yang sudah disampaikan bahwa Liverpool dan Juventus merupakan tim yang amat populer. Maka jumlah penonton yang hadir pun otomatis sangat luar biasa.

Sat itu, satu sektor lainnya diperuntukkan bagi penonton netral dari Belgia.

Masalahnya, satu sektor dibelakang gawang yang seharusnya diberikan kepada Liverpool, yang sedianya digunakan oleh pentonton netral tersebut, malah diisi oleh penonton yang mayoritas pendukung Juventus yang berada di Belgia.

Parahnya lagi, batas antara dua sektor netral yang dihuni penggemar Juventus dan penggemar Liverpool hanya terbuat dari kawat tipis dan pagar betis polisi yang jumlahnya tidak seberapa. Sontak, bermula dari aksi saling ejek, kedua supporter tersebut kemudian saling lempar botol dan bongkahan batu stadion.

Ya, bongkahan batu stadion banyak ditemukan di Heysel. Hal ini yang pada akhirnya juga menjadi penyebab mengapa tragedi semakin tidak bisa terhindarkan.

Meskipun disebut sebagai stadion utama dipusat kota, kondisi Heysel tidak benar-benar baik. Berusia 55 tahun saat laga tersebut dilaksanakan, Heysel tidak terlalu mendapat perhatian hingga membuat beberapa bagian gedung tersebut terlihat berceceran. Bahkan, dilaporkan juga banyak penggemar Liverpool yang menyelinap melalui celah celah tembok yang memang sengaja mereka hancurkan.

Sebetulnya, perwakilan dari dua petinggi masing-masing klub sudah menghawatirkan kondisi stadion tersebut. Namun setelah mengajukan usulan kepada UEFA untuk memindah pertandingan ke stadion yang lebih layak, hal itu ditolak.

Puncaknya, karena aksi saling lempar dirasa tidak cukup oleh para penggemar Liverpool, mereka yang disebut sebagai hooligans itu nekat memanjat pagar untuk menyerang langsung para tifosi Juventus.

Karena supporter Juventus yang berada di tribun dekat Liverpool bukanlah garis keras, mereka memilih untuk tidak melawan. Terlebih, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Mereka pun mencoba kabur ke tembok pembatas, dan dari situ, bencana terjadi.

Bukan hanya penggemar Juventus yang tak kuasa menahan kegilaan fans Liverpool, tembok yang sudah rapuh pun tak kuasa menahan beban yang sedemikian berat. Tembok runtuh, supporter berjatuhan. Diberitakan, sejumlah 39 orang tewas akibat terinjak-injak, dimana 600 lainnya mengalami cedera parah.

Melihat para rekan tifosinya dibantai oleh para hooligans, penggemar Juventus yang berada di sektor seberang mencoba melawan. Namun, petugas keamanan yang sigap untuk mencegah kejadian yang lebih parah berhasil meredam aksi berbahaya tersebut.

Bagaimanapun, serangan membabibuta para hooligans Liverpool akan selalu diingat sebagai peristiwa kelabu. Tak terkecuali bagi Bruno Guarini. Pria Italia itu sangat menyesal telah membawa anaknya, Alberto, melangkah ke Heysel.

Melalui The Guardian, Guarini bercerita,

“Mereka berlari ke arah kami melalui pagar,”

“Alberto terjebak disudut pagar. Kata-kata terakhirnya adalah ‘Papa, mi stanno schiaccando’ (ayah mereka menghancurkanku).”

Saat itu, Guarini yang berada dalam kondisi setengah sadar melihat tim medis mencari putranya. Dan yang mereka temukan adalah, Alberto sudah dalam keadaan tak bernyawa.

Friday, 18 December 2020

Tragedi Semanggi 1 & 2 : Tragedi Berdarah Pertama di Era Reformasi

 1. Tragedi Semanggi 1

Tragedi Semanggi 1 terjadi pada 11-13 November 1998 di Semanggi, Jakarta. Tragedi ini dipicu oleh aksi demonstrasi mahasiswa & elemen masyarakat di masa transisi Orde Baru ke Reformasi. Mereka melancarkan protes terkait pelaksanaan sidang istimewa MPR/DPR yang menunjuk B.J. Habibie sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto yang juga sekaligus menjadi akhir era Orde Baru tersebut. Selain itu, mereka juga tidak setuju dengan pengangkatan ini karena B.J. Habibie dianggap hanya meneruskan pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto yang sudah berjalan selama 32 tahun. Mereka juga tidak mempercayai anggota MPR/DPR era Orde Baru dan meminta agar mereka diganti oleh orang-orang yang Reformis. Selain itu mereka juga meminta agar militer disingkirkan dari politik dan membersihkan orang-orang Orde Baru dari pemerintahan dan juga menggantinya dengan kalangan Reformis ataupun mahasiswa.

Baik mahasiswa maupun masyarakat sama-sama menolak hasil Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang berjalannya Sidang Istimewa itulah masyarakat ikut turun ke jalan-jalan sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bersama dengan mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi itu sehingga menimbulkan kemacetan dan penutupan akses jalan dimana-mana. Peristiwa itu sendiri mendapat atensi besar dari Indonesia dan dunia internasional. Akibat peristiwa itu, seluruh sekolah dan kampus di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa itu terpaksa diliburkan untuk mencegah terjadinya perkumpulan yang melibatkan mahasiswa itu. Apapun kegiatan yang mereka lakukan itu mendapat perhatian ekstra dari pimpinan kampus masing-masing karena aparat keamanan sama sekali tidak menghendaki aksi mahasiswa tersebut. Jelas sekali bahwa peristiwa ini merupakan peristiwa kedua yang terjadi pada 1998 setelah sebelumnya terjadi Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 dimana banyak toko-toko dijarah, kerusuhan dengan etnis Tionghoa bahkan kabarnya ada yang sampai diperkosa di sejumlah kota-kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Solo & Surabaya. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 itulah yang menjadi akhir era Orde Baru karena Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden RI setelah sebelumnya beliau kembali terpilih sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya lewat sidang MPR pada Maret 1998 lalu dengan masa jabatan 1998-2003. Selanjutnya posisi beliau digantikan oleh B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden RI. 

Kronologis Kejadian 

1. 11 November 1998

Mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa, Kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI, di sekitar kompleks Tugu Proklamasi.

2. 12 November 1998

Ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Namun, tidak ada satupun yang berhasil sampai gedung DPR/MPR karena dikawal dengan sangat ketat oleh aparat.

Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman. Puluhan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.

Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, mengalami luka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

3. 13 November 1998

Mahasiswa dan elemen masyarakat yang berada di Universitas Atma Jaya Jakarta, bergerak ke Semanggi dan sekitarnya. Mereka lalu dikepung di Jalan Jenderal Sudirman oleh aparat.

Deskripsi Kejadian

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung dalam peristiwa itu diperkirakan berjumlah puluhan ribu orang. Mereka dikepung oleh aparat dari 2 arah di sekitar Jalan Sudirman dengan kendaraan lapis baja. Di tempat itulah terjadi penembakan yang dilakukan oleh aparat yang membabibuta ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di pinggir jalan itu dan mencoba untuk mempertahankan diri. Sementara itu, masayarakat mencoba untuk melarikan diri begitu kendaraan lapis baja aparat tiba di lokasi kejadian. Saat itu juga beberapa mahasiswa yang berusaha untuk melarikan diri pun tertembak oleh aparat dan meninggal seketika di jalan. Korban pertama dalam peristiwa penembakan itu adalah Teddy Wardhani Kusuma yang merupakan mahasiswa Institut Teknologi Indonesia. Korban penembakan kedua yang dilakukan oleh aparat itu adalah Bernardus Realino Norma Irmawan atau biasa dipanggil Wawan yang merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya. Dia tertembak di bagian dada dari arah depan saat berusaha menyelamatkan rekannya di pelataran parkir kampus Unika Atma Jaya. Mahasiswa yang sedang kocar kacir untuk menyelamatkan diri dari tembakan aparat itu mencoba melarikan diri ke kampus Universitas Atma Jaya untuk melindungi diri dari penembakan sekaligus menyelamatkan rekan-rekan mereka dan masyarakat yang terluka akibat penembakan membabibuta oleh aparat tersebut. Sejak pukul 15.00 WIB sampai pukul 02.00 dinihari penembakan masih terus terjadi di kawasan Semanggi dan kawasan kampus Unika Atma Jaya. Bahkan gelombang kerumunan mahasiswa dan masyarakat yang ingin turun ke jalan terus bertambah dan mereka disambut dengan peluru dan gas air mata. Hingga akhirnya, Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat ada 17 korban tewas dalam peristiwa tersebut. Mereka terdiri dari 6 orang mahasiswa, dari berbagai kampus di Jakarta, 2 orang pelajar SMA di Jakarta, 2 orang anggota aparat keamanan POLRI, seorang satpam pasar swalayan, 4 anggota Pam Swakarsa & 3 warga masyarakat. Korban tewas termasuk diantaranya adalah Sigit Prasetyo (mahasiswa YAI), Heru Sudibyo (mahasiswa UNAS), Engkus Kusnadi (mahasiswa Universitas Jakarta), Muzammil Joko (mahasiswa UI),  Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik & Hadi. Sementara itu, korban luka mencapai 109 orang yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala. Mayoritas dari mereka yang menjadi korban luka itu dikarenakan terkena tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam & tumpul.

2. Tragedi Semanggi 2

Tragedi Semanggi 2 terjadi pada 24-28 September 1999. Peristiwa itu dipicu oleh desakan pemerintah transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang isinya menurut berbagai kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Selain itu, isi undang-undang tersebut dikhawatirkan TNI akan masuk dalam ranah publik sehingga berpotensi melumpuhkan gerakan sipil dengan alasan keadaan bahaya. Oleh karena itu beberapa saat setelah RUU PKB itu disahkan oleh DPR, mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Tidak hanya mahasiswa yang turun ke DPR, tetapi aksi itu juga diikuti oleh buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah dan profesi. Mereka menyusul mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menolak diberlakukannya UU PKB di Senayan. Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan berdarah. Puluhan mahasiswa terluka akibat tembakan, injakan, pukulan dan gas air mata. Peristiwa ini juga terjadi di beberapa derah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya. Aksi-aksi tersebut mendapat represi oleh ABRI (TNI)  sehingga mengakibatkan jatuh korban antara lain, Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut. 11 korban meninggal itu termasuk diantaranya adalah Yap Yun Hap yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Dia meninggal dengan kondisi terkena luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Pengusutan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungjawaban mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998).

Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).

Berbagai tantangan terus dihadapi keluarga korban dalam merengkuh keadilan. Salah satunya adalah pernyataan Pansus (Panitia Khusus) DPR RI yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat dalam sidang DPR RI tahun 2001. Rekomendasi itu  jelas mengesampingkan proses hukum Komnas HAM yang menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. Selain itu, sampai hari ini Kejaksaan Agung masih belum melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, februari lalu Jaksa Agung justru sempat mengemukakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termassuk pelanggaran HAM Berat. Sebuah cacat logika dalam tubuh Kejaksaan Agung jelas kembali menyakiti perasaan keluarga korban.

Kini, keluarga korban tengah berjuang dalam persidangan untuk terus berupaya merengkuh keadilan. Berdiri bersama korban memperjuangkan keadilan menjadi sangat penting sebagai sebuah cerminan kepedulian dan untuk terus memberikan semangat kepada keluarga korban.


Pengadilan HAM Ad-Hoc


Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi.
Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.
Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan Semanggi semakin tidak jelas.
Pada periode sebelumnya 1999–2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. Tanggal 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:

  • F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat.
  • Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS

Hingga saat ini kelanjutan penyidikan kasus pelanggaran HAM Berat ini belum juga menemukan titik terang meskipun Presiden RI telah berganti dari B.J. Habibie hingga sekarang ketika Joko Widodo menjadi Presiden RI. Sejak lengsernya Soeharto sampai saat itu ada bingkai besar, yaitu kegamangan militer tentang posisi mereka di era reformasi.

Wednesday, 16 December 2020

Peristiwa 27 Juli (Peristiwa Kudatuli) : Awal Mula Gejolak Politik Indonesia di Era Orde Baru

 Peristiwa 27 Juli 1996 atau bisa disebut dengan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau juga bisa disebut Peristiwa Sabtu Kelabu (karena terjadi di hari Sabtu) merupakan sebuah peristiwa dimana terjadi pengambilalihan paksa kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) yang bermarkas di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang ketika itu dikuasai oleh kubu Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan itu dilakukan oleh kubu Soerjadi (Ketua Umum PDI versi Kongres PDI di Medan) dengan dibantu oleh aparat kepolisian dan TNI. 

Peristiwa ini meluas hingga menjadi kerusuhan di wilayah Jakarta terutama di kawasan Jl Diponegoro, Salemba & Kramat. Beberapa gedung pun terbakar begitu pula dengan kendaraan yang berada di kawasan itu, termasuk pula kendaraan aparat yang dirusak oleh sekelompok massa aksi tersebut. Pos-pos polisi di wilayah itu juga tidak luput dari pengerusakan yang dilakukan oleh sekelompok massa.

Akibat peristiwa tersebut, 5 orang tewas, 149 orang terluka dan 23 orang dinyatakan hilang menurut Komnas HAM. Selain itu, kawasan Jl Diponegoro dinyatakan sebagai daerah terlarang imbas dari peristiwa berdarah tersebut dan sekolah-sekolah yang berada tidak jauh dari lokasi itu juga terpaksa diliburkan. 

Pemerintah Orde Baru saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak dari kerusuhan tersebut. Mereka yang terlibat dalam peristiwa itu kemudian dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Orde Baru dan salah satu aktivis Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman paling berat yaitu selama 13 tahun penjara.

Latar Belakang Peristiwa

Peristiwa ini bermula saat Presiden RI ke 2, Soeharto dan pembantu militernya melakukan rekayasa Kongres PDI di Medan dimana mereka ingin mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru ini dilakukan sebagai bentuk upaya menggulingkan Megawati Soekarnoputri dari jabatan sebagai Ketua Umum PDI yang berkantor di Kantor DPP PDI di Jl Diponegoro 58 Jakarta. Namun aksi itu berusaha dihalangi oleh kubu Megawati dengan mengadakan mimbar bebas di tempat itu juga. Mimbar bebas itu dihadiri oleh sejumlah tokoh yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru dan aktivis penantang Orde Baru. Mimbar itu dianggap mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru yang menurut mereka melakukan dualisme partai politik. Megawati Soekarnoputri sendiri terpilih sebagai Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Kemudian pada Kongres PDI 1996 di Medan, Soerjadi dibekingi oleh pemerintah Orde Baru saat itu untuk mendongkel posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDI versi Kongres Surabaya 1993. Soerjadi pun berhasil mengklaim kemenangan pada kongres yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S. Memed dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Megawati dan pendukungnya memilih enggan hadir pada kongres itu. Lalu terjadilah unjuk rasa memprotes PDI versi Soerjadi yang didukung oleh pemerintah Orde Baru dan memberikan dukungan pada Megawati di sejumlah kota di Indonesia terutama di Jakarta. Di Jakarta itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah tersebut ketika dilakukan pengambilalihan paksa oleh kubu Soerjadi tersebut. 

Kronologis Kejadian 

01:00

Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga—suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang bermain catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.

03:00

Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.

05:00

Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.

06:15

Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada 4 orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.
Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.
Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.

09:15

Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa—yang tampaknya bukan dari PDI—sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar batu.

09:24

Massa di belakang Gedung SMPN 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba-tiba seorang wartawan foto—yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat—terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma—dengan menarik bajunya—dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.

09:35

Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".

09:45

Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.
Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.
Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.

11:30

Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di 3 tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi.
Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.

11:40

Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.
Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur.
Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.

12:40

Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.

12:45

Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.
Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ.

13:52

Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.
Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.

14:05

Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI.
Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.

14:29

Hujan batu terjadi. Massa yang berada di depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju. Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut mundur ke arah Salemba.
Ada sekitar 100 orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria—lengannya patah ketika menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan menjadi bidikan foto wartawan.

15:00

Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek 40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota itu.

15:37

Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar. Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan Salemba. Asrama Kowad—yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana—merupakan gedung pertama yang diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api yang besar.
Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.

15:55

Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan gorden jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya. Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.
Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai. Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."

16:19

Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton pengangkut pasukan segera tiba.
Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000 membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal mencapai Senen.

16:33

Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak semua rambu-rambu lalu lintas.

19:00

Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari


Pasca Kejadian Era Orde Baru

Ketika Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden RI ke 5, Pengadilan Koneksitas hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melemparkan batu ke Kantor DPP PDI dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 2 bulan 10 hari. Sementara 2 perwira militer yang sebelumnya diadili yaitu Kolonel CZI Budi Purnama (eks Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) & Lettu Inf Suharto (eks Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.


Laporan Komnas HAM

Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) : 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.