Tragedi Heysel merupakan sebuah tragedi berdarah yang terjadi di dunia olahraga khususnya sepakbola. Tragedi ini terjadi pada 29 Mei 1985 ketika saat itu sedang ada pertandingan final Piala Champions (sekarang bernama Liga Champions UEFA) yang mempertemukan Liverpool, sang juara bertahan musim sebelumnya dengan Juventus. Laga itu dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0 via gol tunggal Michel Platini dan menjadikan gelar Liga Champions pertama untuk Juventus. Peristiwa ini bisa dibilang sebagai peristiwa yang sangat kelam dalam sejarah sepak bola Inggris karena saat itu sepak bola Inggris sedang berada dalam masa jayanya. Peristiwa ini menyebabkan jatuh korban jiwa yaitu 39 orang tewas (mayoritas pendukung Juventus) dan 600 orang lainnya luka-luka. Tidak hanya itu saja, semua klub-klub dari Liga Inggris juga terkena imbasnya yaitu dilarang tampil pada semua ajang antarklub UEFA & Internasional selama 5 tahun sementara khusus Liverpool FC yang menjadi dalang utama peristiwa itu sedianya mendapat hukuman tambahan 3 tahun larangan mentas di kompetisi antarklub Eropa yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun tambahan sampai 1991. Tetapi larangan itu tidak berlaku untuk timnas Inggris. Mereka tetap berpartisipasi di Piala Dunia 1986 & Piala Eropa 1988.
Peristiwa itu bermula ketika pendukung kedua tim saling mengejek dan melecehkan. Lalu sekitar 1 jam sebelum kick-off, kelompok fans Liverpool (Liverpudlian) menerobos masuk ke wilayah tifosi Juventus. Tidak ada perlawanan yang terjadi disana karena keduanya bukan pendukung ultras. Suporter Juventus berusaha menjauh dari amukan suporter Liverpool tadi, namun tiba-tiba munculah sebuah bencana dalam peristiwa itu. Dinding pembatas di sektor tersebut runtuh karena tidak mampu menahan beban dari orang-orang yang terus berusaha merangsek dan melompati pagar. Akibatnya dinding tersebut roboh dan jatuhlah korban jiwa itu dimana 39 orang tewas (mayoritas dari mereka adalah Juventini) dan yang lainnya mengalami luka-luka & juga terinjak-injak kelompok orang tadi.
Meskipun terjadi kerusuhan baik itu di dalam maupun diluar lapangan, pertandingan tetap dilanjutkan setelah kapten kedua tim meminta kepada semua penonton yang hadir di Heysel Stadium tersebut unttuk menenangkan diri. Alasannya karena bertujuan untuk meredam atmosfer kerusuhan yang semakin menyebar ke seluruh penjuru stadion. Juventini sempat ingin melancarkan aksi balasan di bagian stadion lain kepada Liverpudlian namun tindakan mereka berhasil dicegah oleh petugas keamanan. Ketika pertandingan sudah dimulai, situasi sudah mulai terkendali. Juventus berhasil memenangkan laga itu dengan skor 1-0 lewat gol penalti Michel Platini setelah sebelumnya dia dilanggar oleh pemain Liverpool di kotak penalti dan meraih gelar UEFA Champions League pertamanya sepanjang sejarah klub. Tak ada perayaan pesta juara dalam final itu dan tidak ada juga arak-arakan trofi yang dibawa ke kota Turin tersebut sebab Juventus masih berduka karena tewasnya suporter kesayangan mereka akibat ulah Liverpudlian itu.
Akibat dari peristiwa itu, semua klub-klub dari Liga Inggris mendapat hukuman dilarang tampil di semua kompetisi UEFA selama 5 tahun hingga 1990. Sedangkan Liverpool FC mendapat hukuman tambahan 3 tahun dilarang tampil di semua kompetisi UEFA yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun saja hingga 1991. Itu berimbas kepada tim-tim seperti Everton, Chelsea, Arsenal, Manchester United, Tottenham Hotspur, Nottingham Forest, Coventry City dll yang dirugikan dari hukuman itu karena kehilangan kesempatan tampil di ajang antarklub UEFA.
Kepolisian Inggris menyelidiki lebih lanjut dari berbagai sumber. Film sepanjang 17 menit dan berbagai hasil jepretan kamera menjadi alat untuk mengungkap kejadian tersebut. TV Eye menayangkan satu jam penuh perihal Tragedi Heysel, dan foto-foto pun dipublikasikan melalui media massa. Hasilnya, 27 orang dinyatakan bersalah dan ditahan oleh kepolisian Belgia, 14 diantaranya merupakan Liverpudlian yang menjadi dalang kerusuhan itu. UEFA kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut. Dan berdasarkan hasil penyidikan tersebut, Guenther Schneider selaku penyidik resmi UEFA menyatakan bahwa Liverpool FC & pendukungnya harus bertanggung jawab atas kesalahan yang menyebabkan peristiwa itu. Sehari setelahnya, PM Inggris saat itu, Margaret Thatcher meminta Football Association (FA) untuk menarik partisipasi klub-klub Liga Inggris dari kompetisi antarklub UEFA. 2 hari kemudian, UEFA turun tangan dan memberikan larangan bertanding di kompetisi antarklub UEFA kepada klub-klub Liga Inggris selama 5 tahun. Pada 6 Juni 1985, hukuman itu diperluas hingga seluruh dunia yang artinya klub-klub Liga Inggris tidak dapat mengikuti semua kompetisi antarklub baik itu UEFA maupun FIFA namun pengecualian untuk pertandingan persahabatan. Tetapi sanksi ini tidak berlaku untuk timnas Inggris yang artinya mereka masih bisa mengikuti kompetisi internasional baik itu Piala Dunia maupun Piala Eropa. Sementara khusus Liverpool FC, UEFA memberikan hukuman tambahan 3 tahun larangan tampil di kompetisi antarklub UEFA & FIFA yang kemudian dikurangi menjadi 1 tahun saja. Peristiwa itu seolah menjadikan Liverpool FC sebagai musuh bersama tim-tim Liga Inggris dan suporternya dibenci di seantero Inggris hingga sekarang karena tim-tim lain telah kehilangan kesempatan bermain di kompetisi antarklub UEFA & FIFA imbas dari peristiwa tersebut. Sampai hari ini Tragedi Heysel dianggap sebagai salah satu insiden paling memilukan dalam sejarah kompetisi sepak bola Eropa. Kedua klub yang terlibat dalam final Piala Champions itu juga tak putus-putusnya memberi penghormatan pada mendiang para suporter.
Peringatan & Perdamaian Pasca Tragedi
Kejadian tersebut selalu diperingati kedua klub untuk menghormati 39 korban tewas pada tragedi tersebut. Di Balai Kota Liverpool lonceng akan dibunyikan sebanyak 39 kali pada setiap 29 Mei.
Selain itu, tugu peringatan tragedi didirikan di sekitar Stadion Heysel. Tugu tersebut diresmikan pada 29 Mei 2005 atau pada 20 tahun peringatan tragedi tersebut. Tugu berbentuk jam matahari itu dikelilingi hiasan batu dan berhias 39 lampu bersinar untuk mewakili masing-masing korban. Ada juga sebuah puisi "Funeral Blues" yang diciptakan penyair Inggris, W. H. Auden.
Akan tetapi setelah insiden ini, pendukung Liverpool dan Juventus tidak saling berbalas dendam. Keduanya justru merangkai persahabatan yang kental setelah kejadian tersebut. Buktinya pada tahun 2005, saat kedua tim bertemu di babak perempat final Liga Champions di Anfield, para pendukung Liverpool menyambut para pendukung dan pemain Juventus dengan mozaik bertuliskan "Amicizia" yang berarti persahabatan. Mozaik tersebut bentuk permintaan maaf mereka kepada para Juventini, sebutan untuk pendukung Juventus. Aksi itu dibalas oleh para pendukung Juventus dengan tepuk tangan meriah. Namun, seperti kata 'Si Nyonya Tua', luka itu mungkin tidak akan hilang karena kehilangan mereka tidak bisa dibatalkan.
Revolusi Suporter Inggris Pasca Tragedi
Tragedi Heysel juga menjadi penanda kedewasaan supporter Inggris dalam menonton pertandingan. Sebelum kejadian itu terjadi stadion-stadion di Inggris dilengkapi dengan pagar pembatas agar para supporter tidak bisa melakukan tindakan yang memicu terganggunya pertandingan.
Saat itu stigma media kepada supporter sepakbola Inggris sangatlah buruk karena perangai mereka. Namun setelah kejadian Heysel FA sebagai federasi sepakbola Inggris melakukan langkah berani dengan menghilangkan pagar pembatas di stadion-stadion Inggris. Selain itu FA juga menghilangkan tribun berdiri di stadion.
Ide tersebut menjadi kontroversial kala itu, namun FA tetap pada pendiriannya karena menganggap dua hal tersebut menjadi biang dari arus radikalisme hooliganisme di Inggris. Dengan hilangnya pagar pembatas dan tribun berdiri, supporter kemudian diberi kebebasan untuk mengekspresikan segala aksi mereka. Hasilnya para supporter kemudian lebih dewasa dalam bersikap.
Kesaksian Pelaku Sejarah Tragedi
Ed Vulliamy, mantan penulis The Guardian, menyatakan bahwa ia melihat banyak mayat menumpuk tinggi. Baginya, Heysel tahun 1985, merupakan tragedi terbesar dalam persepakbolaan Eropa.
Ed Vulliamy yang saat itu ikut berada di tribun penonton menggambarkan suasana Heysel yang begitu mencekam. Sorak sorai para pendukung Liverpool dan Juventus berubah menjadi peristiwa kelam tak terlupakan.
Setelah pulang dari pertandingan itu, ia menemui dua orang pendukung Liverpool. Pertama ia menemui seorang penggemar The Reds yang mengatakan kalau ia akan berhenti menonton sepakbola setelah 25 tahun. Tragedi malam itu benar-benar mengubah pandangannya terhadap sepakbola. Permainan yang biasa menggunakan bola untuk ditendang itu berubah menjadi tragedi yang menyertakan tumpukan mayat untuk ditendang.
Namun berbeda dengan fans lainnya, Ed Vulliamy dibuat begitu terkejut saat ia mewawancarai seorang penggemar Liverpool yang mengatakan, “Bagus, mereka pantas mendapatkannya!”.
Tragedi Heysel atau yang lebih populer dengan nama Heysel Stadium Disaster terjadi pada 29 Mei 1985. Peristiwa kelam itu terjadi satu jam sebelum pertandingan final Piala Champions antara Juventus melawan Liverpool.
Hari itu, Liverpool dan Juventus menjadi dua kekuatan terbesar sepakbola Eropa. Stadion Heysel di pusat kota Brussel, Belgia, menggelar hajatan besar. Awalnya, tak ada yang mengira kalau final tersebut akan berujung petaka. Seperti kebanyakan venue final Piala Champions, hari itu Brussel dipenuhi oleh fans dari kedua kesebelasan. Mereka bernyanyi, menenggak bir, dan bersuka cita.
Namun, semua itu berubah 180 derajat sebelum pertandingan dimulai.
Kerusuhan bermula ketika penggemar Liverpool tidak terima dengan jatah jumlah penonton yang diberikan panitia. Mereka hanya mendapat dua sektor, sementara Juventus mendapat tiga sektor. Seperti yang sudah disampaikan bahwa Liverpool dan Juventus merupakan tim yang amat populer. Maka jumlah penonton yang hadir pun otomatis sangat luar biasa.
Sat itu, satu sektor lainnya diperuntukkan bagi penonton netral dari Belgia.
Masalahnya, satu sektor dibelakang gawang yang seharusnya diberikan kepada Liverpool, yang sedianya digunakan oleh pentonton netral tersebut, malah diisi oleh penonton yang mayoritas pendukung Juventus yang berada di Belgia.
Parahnya lagi, batas antara dua sektor netral yang dihuni penggemar Juventus dan penggemar Liverpool hanya terbuat dari kawat tipis dan pagar betis polisi yang jumlahnya tidak seberapa. Sontak, bermula dari aksi saling ejek, kedua supporter tersebut kemudian saling lempar botol dan bongkahan batu stadion.
Ya, bongkahan batu stadion banyak ditemukan di Heysel. Hal ini yang pada akhirnya juga menjadi penyebab mengapa tragedi semakin tidak bisa terhindarkan.
Meskipun disebut sebagai stadion utama dipusat kota, kondisi Heysel tidak benar-benar baik. Berusia 55 tahun saat laga tersebut dilaksanakan, Heysel tidak terlalu mendapat perhatian hingga membuat beberapa bagian gedung tersebut terlihat berceceran. Bahkan, dilaporkan juga banyak penggemar Liverpool yang menyelinap melalui celah celah tembok yang memang sengaja mereka hancurkan.
Sebetulnya, perwakilan dari dua petinggi masing-masing klub sudah menghawatirkan kondisi stadion tersebut. Namun setelah mengajukan usulan kepada UEFA untuk memindah pertandingan ke stadion yang lebih layak, hal itu ditolak.
Puncaknya, karena aksi saling lempar dirasa tidak cukup oleh para penggemar Liverpool, mereka yang disebut sebagai hooligans itu nekat memanjat pagar untuk menyerang langsung para tifosi Juventus.
Karena supporter Juventus yang berada di tribun dekat Liverpool bukanlah garis keras, mereka memilih untuk tidak melawan. Terlebih, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Mereka pun mencoba kabur ke tembok pembatas, dan dari situ, bencana terjadi.
Bukan hanya penggemar Juventus yang tak kuasa menahan kegilaan fans Liverpool, tembok yang sudah rapuh pun tak kuasa menahan beban yang sedemikian berat. Tembok runtuh, supporter berjatuhan. Diberitakan, sejumlah 39 orang tewas akibat terinjak-injak, dimana 600 lainnya mengalami cedera parah.
Melihat para rekan tifosinya dibantai oleh para hooligans, penggemar Juventus yang berada di sektor seberang mencoba melawan. Namun, petugas keamanan yang sigap untuk mencegah kejadian yang lebih parah berhasil meredam aksi berbahaya tersebut.
Bagaimanapun, serangan membabibuta para hooligans Liverpool akan selalu diingat sebagai peristiwa kelabu. Tak terkecuali bagi Bruno Guarini. Pria Italia itu sangat menyesal telah membawa anaknya, Alberto, melangkah ke Heysel.
Melalui The Guardian, Guarini bercerita,
“Mereka berlari ke arah kami melalui pagar,”
“Alberto terjebak disudut pagar. Kata-kata terakhirnya adalah ‘Papa, mi stanno schiaccando’ (ayah mereka menghancurkanku).”
Saat itu, Guarini yang berada dalam kondisi setengah sadar melihat tim medis mencari putranya. Dan yang mereka temukan adalah, Alberto sudah dalam keadaan tak bernyawa.
No comments:
Post a Comment