Peristiwa 27 Juli 1996 atau bisa disebut dengan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau juga bisa disebut Peristiwa Sabtu Kelabu (karena terjadi di hari Sabtu) merupakan sebuah peristiwa dimana terjadi pengambilalihan paksa kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) yang bermarkas di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang ketika itu dikuasai oleh kubu Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan itu dilakukan oleh kubu Soerjadi (Ketua Umum PDI versi Kongres PDI di Medan) dengan dibantu oleh aparat kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas hingga menjadi kerusuhan di wilayah Jakarta terutama di kawasan Jl Diponegoro, Salemba & Kramat. Beberapa gedung pun terbakar begitu pula dengan kendaraan yang berada di kawasan itu, termasuk pula kendaraan aparat yang dirusak oleh sekelompok massa aksi tersebut. Pos-pos polisi di wilayah itu juga tidak luput dari pengerusakan yang dilakukan oleh sekelompok massa.
Akibat peristiwa tersebut, 5 orang tewas, 149 orang terluka dan 23 orang dinyatakan hilang menurut Komnas HAM. Selain itu, kawasan Jl Diponegoro dinyatakan sebagai daerah terlarang imbas dari peristiwa berdarah tersebut dan sekolah-sekolah yang berada tidak jauh dari lokasi itu juga terpaksa diliburkan.
Pemerintah Orde Baru saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak dari kerusuhan tersebut. Mereka yang terlibat dalam peristiwa itu kemudian dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Orde Baru dan salah satu aktivis Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman paling berat yaitu selama 13 tahun penjara.
Latar Belakang Peristiwa
Peristiwa ini bermula saat Presiden RI ke 2, Soeharto dan pembantu militernya melakukan rekayasa Kongres PDI di Medan dimana mereka ingin mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru ini dilakukan sebagai bentuk upaya menggulingkan Megawati Soekarnoputri dari jabatan sebagai Ketua Umum PDI yang berkantor di Kantor DPP PDI di Jl Diponegoro 58 Jakarta. Namun aksi itu berusaha dihalangi oleh kubu Megawati dengan mengadakan mimbar bebas di tempat itu juga. Mimbar bebas itu dihadiri oleh sejumlah tokoh yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru dan aktivis penantang Orde Baru. Mimbar itu dianggap mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru yang menurut mereka melakukan dualisme partai politik. Megawati Soekarnoputri sendiri terpilih sebagai Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Kemudian pada Kongres PDI 1996 di Medan, Soerjadi dibekingi oleh pemerintah Orde Baru saat itu untuk mendongkel posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDI versi Kongres Surabaya 1993. Soerjadi pun berhasil mengklaim kemenangan pada kongres yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S. Memed dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Megawati dan pendukungnya memilih enggan hadir pada kongres itu. Lalu terjadilah unjuk rasa memprotes PDI versi Soerjadi yang didukung oleh pemerintah Orde Baru dan memberikan dukungan pada Megawati di sejumlah kota di Indonesia terutama di Jakarta. Di Jakarta itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah tersebut ketika dilakukan pengambilalihan paksa oleh kubu Soerjadi tersebut.
Kronologis Kejadian
01:00
Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga—suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang bermain catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.
03:00
Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.
05:00
Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.
06:15
Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada 4 orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.
Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.
Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.
09:15
Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa—yang tampaknya bukan dari PDI—sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar batu.
09:24
Massa di belakang Gedung SMPN 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba-tiba seorang wartawan foto—yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat—terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma—dengan menarik bajunya—dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.
09:35
Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".
09:45
Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.
Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.
Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.
11:30
Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di 3 tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi.
Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.
11:40
Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.
Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur.
Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.
12:40
Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.
12:45
Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.
Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ.
13:52
Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.
Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.
14:05
Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI.
Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.
14:29
Hujan batu terjadi. Massa yang berada di depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju. Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut mundur ke arah Salemba.
Ada sekitar 100 orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria—lengannya patah ketika menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan menjadi bidikan foto wartawan.
15:00
Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek 40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota itu.
15:37
Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar. Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan Salemba. Asrama Kowad—yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana—merupakan gedung pertama yang diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api yang besar.
Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.
15:55
Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan gorden jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya. Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.
Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai. Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."
16:19
Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton pengangkut pasukan segera tiba.
Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000 membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal mencapai Senen.
16:33
Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak semua rambu-rambu lalu lintas.
19:00
Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari
Pasca Kejadian Era Orde Baru
Ketika Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden RI ke 5, Pengadilan Koneksitas hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melemparkan batu ke Kantor DPP PDI dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 2 bulan 10 hari. Sementara 2 perwira militer yang sebelumnya diadili yaitu Kolonel CZI Budi Purnama (eks Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) & Lettu Inf Suharto (eks Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Laporan Komnas HAM
Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) : 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.
No comments:
Post a Comment