Friday, 18 December 2020

Tragedi Semanggi 1 & 2 : Tragedi Berdarah Pertama di Era Reformasi

 1. Tragedi Semanggi 1

Tragedi Semanggi 1 terjadi pada 11-13 November 1998 di Semanggi, Jakarta. Tragedi ini dipicu oleh aksi demonstrasi mahasiswa & elemen masyarakat di masa transisi Orde Baru ke Reformasi. Mereka melancarkan protes terkait pelaksanaan sidang istimewa MPR/DPR yang menunjuk B.J. Habibie sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto yang juga sekaligus menjadi akhir era Orde Baru tersebut. Selain itu, mereka juga tidak setuju dengan pengangkatan ini karena B.J. Habibie dianggap hanya meneruskan pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto yang sudah berjalan selama 32 tahun. Mereka juga tidak mempercayai anggota MPR/DPR era Orde Baru dan meminta agar mereka diganti oleh orang-orang yang Reformis. Selain itu mereka juga meminta agar militer disingkirkan dari politik dan membersihkan orang-orang Orde Baru dari pemerintahan dan juga menggantinya dengan kalangan Reformis ataupun mahasiswa.

Baik mahasiswa maupun masyarakat sama-sama menolak hasil Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang berjalannya Sidang Istimewa itulah masyarakat ikut turun ke jalan-jalan sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bersama dengan mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi itu sehingga menimbulkan kemacetan dan penutupan akses jalan dimana-mana. Peristiwa itu sendiri mendapat atensi besar dari Indonesia dan dunia internasional. Akibat peristiwa itu, seluruh sekolah dan kampus di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa itu terpaksa diliburkan untuk mencegah terjadinya perkumpulan yang melibatkan mahasiswa itu. Apapun kegiatan yang mereka lakukan itu mendapat perhatian ekstra dari pimpinan kampus masing-masing karena aparat keamanan sama sekali tidak menghendaki aksi mahasiswa tersebut. Jelas sekali bahwa peristiwa ini merupakan peristiwa kedua yang terjadi pada 1998 setelah sebelumnya terjadi Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 dimana banyak toko-toko dijarah, kerusuhan dengan etnis Tionghoa bahkan kabarnya ada yang sampai diperkosa di sejumlah kota-kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Solo & Surabaya. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 itulah yang menjadi akhir era Orde Baru karena Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden RI setelah sebelumnya beliau kembali terpilih sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya lewat sidang MPR pada Maret 1998 lalu dengan masa jabatan 1998-2003. Selanjutnya posisi beliau digantikan oleh B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden RI. 

Kronologis Kejadian 

1. 11 November 1998

Mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa, Kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI, di sekitar kompleks Tugu Proklamasi.

2. 12 November 1998

Ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Namun, tidak ada satupun yang berhasil sampai gedung DPR/MPR karena dikawal dengan sangat ketat oleh aparat.

Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman. Puluhan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.

Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, mengalami luka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

3. 13 November 1998

Mahasiswa dan elemen masyarakat yang berada di Universitas Atma Jaya Jakarta, bergerak ke Semanggi dan sekitarnya. Mereka lalu dikepung di Jalan Jenderal Sudirman oleh aparat.

Deskripsi Kejadian

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung dalam peristiwa itu diperkirakan berjumlah puluhan ribu orang. Mereka dikepung oleh aparat dari 2 arah di sekitar Jalan Sudirman dengan kendaraan lapis baja. Di tempat itulah terjadi penembakan yang dilakukan oleh aparat yang membabibuta ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di pinggir jalan itu dan mencoba untuk mempertahankan diri. Sementara itu, masayarakat mencoba untuk melarikan diri begitu kendaraan lapis baja aparat tiba di lokasi kejadian. Saat itu juga beberapa mahasiswa yang berusaha untuk melarikan diri pun tertembak oleh aparat dan meninggal seketika di jalan. Korban pertama dalam peristiwa penembakan itu adalah Teddy Wardhani Kusuma yang merupakan mahasiswa Institut Teknologi Indonesia. Korban penembakan kedua yang dilakukan oleh aparat itu adalah Bernardus Realino Norma Irmawan atau biasa dipanggil Wawan yang merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya. Dia tertembak di bagian dada dari arah depan saat berusaha menyelamatkan rekannya di pelataran parkir kampus Unika Atma Jaya. Mahasiswa yang sedang kocar kacir untuk menyelamatkan diri dari tembakan aparat itu mencoba melarikan diri ke kampus Universitas Atma Jaya untuk melindungi diri dari penembakan sekaligus menyelamatkan rekan-rekan mereka dan masyarakat yang terluka akibat penembakan membabibuta oleh aparat tersebut. Sejak pukul 15.00 WIB sampai pukul 02.00 dinihari penembakan masih terus terjadi di kawasan Semanggi dan kawasan kampus Unika Atma Jaya. Bahkan gelombang kerumunan mahasiswa dan masyarakat yang ingin turun ke jalan terus bertambah dan mereka disambut dengan peluru dan gas air mata. Hingga akhirnya, Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat ada 17 korban tewas dalam peristiwa tersebut. Mereka terdiri dari 6 orang mahasiswa, dari berbagai kampus di Jakarta, 2 orang pelajar SMA di Jakarta, 2 orang anggota aparat keamanan POLRI, seorang satpam pasar swalayan, 4 anggota Pam Swakarsa & 3 warga masyarakat. Korban tewas termasuk diantaranya adalah Sigit Prasetyo (mahasiswa YAI), Heru Sudibyo (mahasiswa UNAS), Engkus Kusnadi (mahasiswa Universitas Jakarta), Muzammil Joko (mahasiswa UI),  Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik & Hadi. Sementara itu, korban luka mencapai 109 orang yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala. Mayoritas dari mereka yang menjadi korban luka itu dikarenakan terkena tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam & tumpul.

2. Tragedi Semanggi 2

Tragedi Semanggi 2 terjadi pada 24-28 September 1999. Peristiwa itu dipicu oleh desakan pemerintah transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang isinya menurut berbagai kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Selain itu, isi undang-undang tersebut dikhawatirkan TNI akan masuk dalam ranah publik sehingga berpotensi melumpuhkan gerakan sipil dengan alasan keadaan bahaya. Oleh karena itu beberapa saat setelah RUU PKB itu disahkan oleh DPR, mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Tidak hanya mahasiswa yang turun ke DPR, tetapi aksi itu juga diikuti oleh buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah dan profesi. Mereka menyusul mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menolak diberlakukannya UU PKB di Senayan. Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan berdarah. Puluhan mahasiswa terluka akibat tembakan, injakan, pukulan dan gas air mata. Peristiwa ini juga terjadi di beberapa derah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya. Aksi-aksi tersebut mendapat represi oleh ABRI (TNI)  sehingga mengakibatkan jatuh korban antara lain, Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut. 11 korban meninggal itu termasuk diantaranya adalah Yap Yun Hap yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Dia meninggal dengan kondisi terkena luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Pengusutan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungjawaban mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998).

Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).

Berbagai tantangan terus dihadapi keluarga korban dalam merengkuh keadilan. Salah satunya adalah pernyataan Pansus (Panitia Khusus) DPR RI yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat dalam sidang DPR RI tahun 2001. Rekomendasi itu  jelas mengesampingkan proses hukum Komnas HAM yang menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. Selain itu, sampai hari ini Kejaksaan Agung masih belum melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, februari lalu Jaksa Agung justru sempat mengemukakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termassuk pelanggaran HAM Berat. Sebuah cacat logika dalam tubuh Kejaksaan Agung jelas kembali menyakiti perasaan keluarga korban.

Kini, keluarga korban tengah berjuang dalam persidangan untuk terus berupaya merengkuh keadilan. Berdiri bersama korban memperjuangkan keadilan menjadi sangat penting sebagai sebuah cerminan kepedulian dan untuk terus memberikan semangat kepada keluarga korban.


Pengadilan HAM Ad-Hoc


Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi.
Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.
Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan Semanggi semakin tidak jelas.
Pada periode sebelumnya 1999–2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. Tanggal 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:

  • F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat.
  • Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS

Hingga saat ini kelanjutan penyidikan kasus pelanggaran HAM Berat ini belum juga menemukan titik terang meskipun Presiden RI telah berganti dari B.J. Habibie hingga sekarang ketika Joko Widodo menjadi Presiden RI. Sejak lengsernya Soeharto sampai saat itu ada bingkai besar, yaitu kegamangan militer tentang posisi mereka di era reformasi.

No comments:

Post a Comment